Minggu, 09 Maret 2014

Ada Apa dengan UKT ?

           UKT , tiga huruf ini memang sangat populer pada saat ini, terutama di kalangan civitas akademika kampus. Kepopularan UKT hampir menyaingi kepopuleran drama korea dan lagu-lagu K-Pop terbaru yang juga tidak asing lagi menjadi pembicaraan hangat mahasiswa. Bagaimana tidak, akibat UKT yang merupakan singkatan dari Uang Kuliah Tunggal ini banyak masalah-masalah baru yang menjerat mahasiswa, khususnya mahasiswa angkatan 2013 . Ya, apalagi namanya kalau bukan masalah ekonomi.
             Baik, mari sedikit saya jelaskan dari mana asal muasal tiga huruf yang kontroversinya tidak ada habis-habisnya hingga saat ini. Berbicara masalah “ UKT “ sudah jelas akan membicarakan masalah “ uang “ . Berbicara masalah uang tentu tidak akan lepas dari yang namanya permasalahan ekonomi . Tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia dari segi ekonomi sangatlah banyak. Salah satunya adalah UKT yang menjadi kategori baru dalam daftar permasalahan mahasiswa 2013.

Mengacu pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi , timbul harapan adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan tinggi. Harapan semakin menguat ketika Mendikbud dan Dirjen Dikti menginstruksikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2013/2014. Keseriusan pemerintah untuk mewujudkan harapan rakyat ini terbukti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Tingggi Nomor 97/E/KU/2013 tertanggal 5 Februari 2013 tentang penetapan dan pelaksanaan UKT untuk mahasiswa baru s1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.

UKT ( Uang Kuliah Tunggal ) adalah sistem pembayaran akademik mahasiswa program S1 dimana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi dibagi rata per semester. UKT dinilai sebagai terobosan baru dalam pembayaran akademik. Ciri khas UKT adalah dihapuskannya Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang biasa juga disebut sebagai uang pangkal masuk.  Melalui sistem UKT ini mahasiswa baru tidak perlu lagi membayar berbagai macam biaya, tetapi hanya membayar uang kuliah tunggal yang jumlahnya akan tetap dan berlaku sama  pada tiap semester selama masa kuliah.

Wah , betapa bagusnya sistem yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti dan betapa mulianya tujuan dari UKT ini jika dilihat dari pemaparan singkat saya barusan. Ya, tentulah mulia, sebab jika kita meninjau UU No. 12 Tahun 2012 tadi , maka dapat kita ketahui bahwa tujuan dari UKT adalah untuk meringankan beban mahasiswa yang kurang mampu, karena akan ada subsidi bagi mereka.

Namun, sayang seribu kali sayang . Lagi-lagi kebiasaan di bumi pertiwi kita ini tak dapat dihilangkan, yaitu kebiasaan para pejabat negeri yang “ salah praktik dan salah sasaran “ pada implementasi sebuah sistem/kebijakan pemerintah . Sebenarnya , kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia jika ditinjau dari segi teorinya sangatlah bagus, namun selalu saja pada pengaplikasiannya tidak sebagus teorinya. Hal ini jugalah yang terjadi di beberapa kampus di Indonesia .

Khas lain dari UKT adalah adanya sistem pengelompokan pembayaran. Untuk masalah pengelompokan pembayaran diserahkan kepada kebijakan masing-masing universitas di Indonesia .  Di Universitas Riau sendiri UKT dikelompok kan menjadi lima golongan . Golongan I dan II untuk mahasiswa miskin dan kurang mampu , golongan III untuk mahasiswa penerima Bidik Misi dan golongan IV dan V untuk mahasiswa mampu dan kaya . Kembali saya katakan, jika sekilas kita melihat sistem pengelompokan ini, maka tidak ada yang salah. Namun faktanya adalah pengaplikasian pada sasarannya tidak tepat.

Sejak dikeluarkannya pengumuman daftar nama pengelompokan UKT pada semester lalu tepatnya satu bulan sebelum Ujian Akhir Semester (UAS) ganjil, tak sedikit air mata yang tumpah dari mahasiswa angkatan 2013. Bukan karena terharu atas kebaikan pihak universitas yang mengabulkan permintaan mahasiswa untuk ditetapkan pada golongan UKT yang diinginkan sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua , melainkan kekecewaan bercampur kesedihan saat melihat nama tertera menjadi penerima UKT golongan V !

Di fakultas yang saya cintai dan amat saya banggakan ini hampir 80% dari mahasiswa tercantum pada golongan V. Ini artinya pihak kampus menganggap bahwa 80% dari mahasiwa FKIP adalah orang-orang kaya. Syukur kalau memang si mahasiswa benar adalah orang kaya, nah bagi yang miskin tetapi dianggap kaya bagaimana ? Inilah permasalahan yang tak kunjung selesai di kampus ini .

UKT yang katanya disesuaikan dengan tingkat ekonomi orang tua hanyalah tinggal teori saja. Faktanya, kebanyakan mahasiswa yang tercantum pada golongan V adalah mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi . Bahkan , sebaliknya ada mahasiswa yang mampu justru tercantum pada golongan I dan II.

Pengakuan sendiri dari teman saya yang kuliah di FISIP yang merupakan anak pejabat yang terkenal cukup kaya di daerah saya bahwa dirinya tercantum pada golongan I , padahal ia tidak mengajukan golongan I pada saat pengisian surat permohanan UKT.  Nah, inilah yang saya sebut sebagai “salah praktik dan salah sasaran” . Entah bagaimana cara yang dilakukan oleh pihak kampus untuk memutuskan daftar nama golongan UKT sehingga hal seperti ini bisa terjadi.

Oleh karena salah praktik dan salah sasaran inilah ada beberapa mahasiswa yang memutuskan berhenti kuliah akibat tak sanggup membayar UKT yang telah ditetapkan. Tentu saja mereka adalah yang tercantum pada golongan V yang harus membayar nominal tidak kecil. Untuk FKIP saja golongan V adalah berkisar sebesar Rp 3.000.000- Rp 3.300.000 . Mau dicari kemana uang sebanyak ini bagi orang tuanya yang hanya seorang petani atau hanya seorang pegawai swasta biasa ?  

Miris melihat pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah harus dibayar mahal. Ternyata slogan “ pendidikan hanya untuk orang kaya “ masih berlaku di dunia kampus . Seharusnya pihak universitas memaksimalkan kinerjanya dalam menentukan daftar nama mahasiswa pada golongan UKT yang benar-benar sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka, yaitu salah satunya dengan memaksimalkan survey data pengajuan ukt dari mahasiswa , sehingga praktik salah sasaran tidak terjadi .

 Sangat disayangkan ketika harapan, mimpi dan cita-cita anak bangsa yang digantungkan pada sebuah universitas harus pupus dan patah begitu saja hanya karena UKT yang tidak benar pelaksanaannya. Mungkin pihak kampus perlu merenungkan kembali dan menanyakan pada diri sendiri “ ada apa sebenarnya dengan UKT ? “ . Ya, ini adalah PR yang harus dijawab oleh pihak yang merasa punya tanggung jawab terhadap pendidikan anak negeri ini . Sebab cahaya seharusnya juga menyapa kolong jembatan yang muram, lampu merah yang marah, juga rimba yang menari lemah bersahaja.


3 komentar:

  1. “ pendidikan hanya untuk orang kaya “ kan banyak orang miskin juga dengan BIDIKMISI

    BalasHapus
  2. Tidak semua mendapatkan bidikmisi :) UKT kalau tepat sasaran sih gapapa. But, in fact UKT nya hingga kini banyak yang tidak tepat sasaran. This is the problem..

    BalasHapus
  3. ya betul kak tengku, saya setuju di kampus saya juga terjadi hal yang serupa. sehingga sempat membuat demo besar-besaran juga tahun 2017di rektorat UNIV. PALANGKA RAY.
    Semoga UKT Kedepannya dapat tepat sasaran kak

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar..