Novi, kenapa
kok ngambil jurusan Pendidikan Fisika?
Kok gak
ngambil jurusan sastra atau bahasa aja,Nov? Kan basicnya Novi di situ.
Nov, kok gak
ngambil ilmu komunikasi aja? Kan suka debat. Bagusan masuk ilkom. Atau ambil
jurusan hukum.
Kenapa gak
ambil jurusan HI aja,Nov? Atau sastra Inggris supaya bahasa Inggrisnya lebih
terasah.
Novi ni
kalau ada lomba-lomba debat atau lomba seni cepat nyerobotnya. Coba aja kalau
lomba yang berhubungan sama Fisika, pasti jarang ikut!
. . . . .
Beberapa
pertanyaan dan kalimat di atas sudah biasa terdengar di telingaku. Tidak jarang
orang-orang bertanya dan berkata demikian. Bahkan orang yang baru mengenaliku
pun tak jarang bertanya seperti itu. Saat mengikuti beberapa kali lomba seni
dan sastra tak jarang peserta lain terkejut ketika mereka bertanya aku dari
jurusan apa dan aku menjawab dengan mantap “Pendidikan Fisika”!
Baiklah,
melalui tulisan ini aku akan menjelaskan kenapa aku mengambil program studi
Pendidikan Fisika sebagai pilihan untuk melanjutkan studi setelah tamat dari
SMA. Dari awal aku menegaskan bahwa aku tidak salah ambil jurusan. Percayalah,
jurusan ini murni pilihanku sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun. Bahkan
ketika mendaftar SNMPTN pun Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas
Riau adalah pilihan pertamaku. Menyusul Fisika FMIPA Universitas Riau menjadi
pilihan kedua. Alhamdulillah, Allah Swt meletakkanku di pilihan yang pertama J
Memang tidak dapat dipungkiri, sejak kecil
bakatku adalah di dunia seni dan sastra. Saat masih duduk di bangku Taman
Kanak-kanak aku termasuk kategori murid yang tidak pernah absen mengikuti tari.
Saat duduk di bangku Sekolah Dasar pun lomba yang sering kuikuti ialah lomba
mewarnai, tari, bercerita, baca puisi. Beberapa prestasi di bidang seni dan
sastra pun pernah Allah berikan sejak di bangku SD, hingga saat ini.
Alhamdulillah.
Menyukai
dunia seni dan sastra bukan berarti aku tidak menyukai jurusan yang kini aku
jalani. Ya, Fisika. Sebenarnya sejak SD pun aku sudah memiliki ketertarikan
dengan Sains. Cuma entah kenapa saat SD bakat Sainsku tidak dikembangkan
melalui perlombaan seperti seni dan sastra. Mungkin dikarenakan keterbatasan fasilitas
sekolah dan guru di sekolah. Tapi, ketika duduk di bangku SMP alhamdulillah
guru Fisikaku mengembangkannya dengan mendaftarkanku mengikuti olimpiade
Fisika. Waktu SMA pun aku pernah beberapa kali mengikuti Olimpiade Fisika. Ya
walau pun prestasinya tidak seberapa, setidaknya aku pernah mencoba dan pernah
mencicipi beberapa kompetisi Sains.
Lantas kenapa sekarang mengambil konsentrasi
Pendidikan Fisika? Sejak kecil aku sudah tertarik dengan dunia keguruan. Melihat
mama yang setiap harinya mengajar di Sekolah Dasar membuatku ingin seperti dia,
menjadi tenaga pendidik yang mampu mencerdaskan anak bangsa.Ketertarikanku di
dunia pendidikan semakin kuat saat di bangku SMA. Sering mengikuti perlombaan
debat membuatku semakin tahu bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat harus
diperhatikan dan banyak yang harus dibenahi. Maka, tekadku ialah aku ingin
sekali bekerja di dunia pendidikan, membenahi pendidikan Indonesia membantu
para pahlawan tanpa tanda jasa lainnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebab, tak dapat dielak bahwa pendidikan merupakan faktor utama yang menentukan
maju mundurnya suatu bangsa.
Setelah memutuskan akan mengambil kuliah di
konsentrasi ilmu keguruan, aku mulai mencari tahu program studi apa yang cocok
dengan minatku. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, aku memutuskan untuk
mengambil konsentrasi Pendidikan Fisika. Alasannya sudah dipikirkan
matang-matang. Tenaga pendidik Fisika di tempatku masih tergolong minim. Ini
aku rasakan ketika aku masih SMA yang susah mencari dosen Fisika professional
yang benar-benar bisa membimbingku dalam olimpiade Fisika. Alhasil, anak-anak
yang punya minat di bidang Fisika agak kesulitan mengembangkan potensinya
seperti anak-anak di kota. Padahal, potensi anak-anak di kabupatenku ini
lumayan bagus dan akan lebih bagus jika dibimbing secara intensif oleh pakarnya.
Lagi
pula, jika aku mengambil konsentrasi seni dan sastra maka ketertarikanku di
bidang sains tidak bisa aku kembangkan. Mana mungkin ketika aku mengambil
perkuliahan jurusan bahasa dan sastra lalu aku mengambil kursus Fisika. Sementara,
jika aku mengambil jurusan Pendidikan Fisika aku masih bisa belajar seni dan
sastra secara otodidak atau dengan mengikuti sanggar di kampus. Sebab, seni dan
sastra bisa dilatih melalui kepekaan perasaan yang diasah secara terus menerus
tanpa harus memasuki kelas perkuliahan seperti Fisika. Alhamdulillah hingga
kini sudah duduk di bangku kuliah semester 5 pun aku berhasil seperti yang aku
inginkan, yakni kuliah di Pendidikan Fisika tetapi tetap mencintai dunia seni
dan sastra. Yap, hingga kini seni, bahasa dan sastra masih setia menemani
langkahku. Bahkan seni, bahasa dan sastra lah yang telah mengantarkan langkah
kaki ini terbang ke beberapa dataran Indonesia di luar Riau.
Lantas,
kenapa tidak mengikuti olimpiade Fisika atau lomba sains di bangku kuliah?
Bukan tidak pernah mengikuti. Aku pernah mengikuti olimpiade sains sejenis
Fisika di tingkat kampus, tapi hasilnya ya begitulah, tidak memuaskan. Aku pun
menyadari bahwa untuk menjadi jawara di lomba bidang Fisika bukanlah hal yang
mudah. Butuh latihan yang sering dan hanya fokus pada konsentrasi Fisika saja.
Hal ini tak dapat disangkal. Lihatlah, para jawara Fisika pasti hanya fokus
pada Fisika saja tanpa melirik ke bidang lain. Pun kalau misalnya melirik ke
bidang lain tidak jauh-jauh dari dunia Sains. Kenapa? Karena ya memang seperti
itulah tuntutannya.
Soal-soal
yang diujikan di olimpiade Fisika itu bukanlah soal harian yang dipelajari di
kampus. Jauh berkali-kali lipat membutuhkan analisa yang tinggi. Untuk
menyelesaikan soal dari dosen saja sudah membutuhkan analisa yang cukup tinggi,
apalagi soal-soal olimpiade. Kalau kata temanku sih soal-soal olimpiade itu makanannya
professor. Itulah sebabnya mengapa jika ingin memang menjadi jawara olimpiade
Fisika maka harus benar-benar fokus pada Fisika saja. Nah sedangkan aku? Aku memang
mencintai Fisika, tapi aku bukan tipikal orang yang bisa melulu fokus pada otak
kiri setiap harinya menyelesaikan soal-soal Fisika. Aku lebih senang membaca
hal-hal yang berhubungan dengan fenomena-fenomena sekitar yang menerapkan teori
dan hukum Fisika. Bisa stress kalau setiap hari hanya berkutat dengan soal
hitung-hitungan. Maka, aku menyeimbanginya dengan seni dan sastra.
Tapi
percayalah, jauh di lubuk hati yang paling dalam (agak lebay dikit) aku sangat
ingin sekali menjadi bagian dari para jawara Fisika. Jika mungkin aku belum
mampu menaklukkan soal-soal tertulis yang kebanyakan membutuhkan analisa
penurunan rumus, maka aku mulai mencari peluang di bidang karya tulis
ilmiahnya. Namun, sayangnya kompetisi di bidang sains masih sangat minim untuk
tingkat mahasiswa. Kompetisi sains rutin tahunan hanyalah seperti OSN pertamina
atau ON MIPA dari pemerintah. Selebihnya event-event tertentu yang diadakan
oleh mahasiswa sains, itu pun frekuensinya masih sangat minim. Maka, wajarlah
jika aku pernah menyebutkan bahwa peluang untuk eksis di kompetisi seni, bahasa
dan sastra jauh lebih besar. Sebab, jika dilihat dari frekuensi kegiatannya pun
jauh lebih banyak kompetisi seni atau pun sastra.
Baik,
kembali awal tadi, Fisika. Mungkin jika mendengar kata Fisika yang terbayang di
benak kebanyakan orang ialah soal-soal hitungan seperti olimpiade yang aku
ceritakan di atas. Padahal, Fisika bukanlah melulu tentang hitung-hitungan,
meskipun matematika ialah bagian yang memang cukup dominan di dunia Fisika. Namun,
jika mau memandang lebih luas lagi maka ada sisi keindahan Fisika yang akan kau
temukan. Apa itu? Seni. Ya, seni! Seni mempelajari tentang perilaku alam. Seni
yang mampu menggerakkan perasaan jiwa manusia untuk lebih dekat mencintai
karya-karya Sang Pencipta. Bukan hanya sekedar tentang rumus F=m.a atau v=s/t. Tapi
yang lebih indah dari itu ialah apa yang menyebabkan benda itu memiliki
gravitasi? Apa yang menyebabkan benda itu bisa bergerak? Di sini lah sebenarnya
letak indahnya Fisika. Namun, kebanyakan guru SD bahkan SMA pun tidak mampu
menyampaikan ini pada siswanya. Itulah sebabnya hingga kini Fisika hanya
dipandang sebagai ilmu hitung-hitungan semata. Bahkan aku pun baru benar-benar
menyadari ini ketika telah duduk di bangku kuliah. Ada yang lebih menakjubkan
lagi, yaitu ternyata Fisika sangat dekat dengan Al-qur’an. Teori-teori Fisika
sudah terlebih dahulu dijelaskan Allah Swt dalam kitab-Nya. Bagaimana alam ini
bisa tercipta, bagaimana pergerakan alam semesta bahkan sampai peristiwa
relativitas waktu pun ada di dalam Al-Qur’an. Hikmahnya ialah, mempelajari
Fisika menambah takjub kita terhadap dahsyatnya penciptaan Sang Maha Kuasa.
Maka, semakin besarlah kecintaanku terhadap Fisika meskipun kadang aku sering
kalang kabut menghadapi bagian yang hitung-hitungannya hahahaa..
Benarlah
bahwa jika ketetapan Allah Swt ialah yang terbaik untuk hamba-Nya. Allah
meletakkanku di Pendidikan Fisika sesuai dengan pilihanku karena memang inilah
yang aku butuhkan. Misi terbesarku ialah kelak ketika aku telah menjadi seorang
pendidik Fisika maka aku akan segera memberi tahu dan mengajarkan murid-muridku
bahwa Fisika bukan hanya sekedar hitungan semata, tetapi lebih dari itu Fisika
ialah seni yang mempelajari bagaimana perilaku alam dan seisinya. Sebab, Fisika
itu indah jika kita tahu makna yang sebenarnya J
Maka, jika masih ada yang bertanya kenapa harus Fisika? Jawaban singkatnya
ialah sebab Fisika itu adalah seni. Mengajar itu juga merupakan suatu seni transfer ilmu. Dan aku mencintai seni! J
cucookk deh ciiin.. semangat terus nulisnyaa cekk..
BalasHapusKeren, Dek :)
BalasHapusKeren kak (y)
BalasHapuskeren, tak selamanya yang kita selami adalah lautan yang kita cintai
BalasHapuskeren, tak selamanya yang kita selami adalah lautan yang kita cintai
BalasHapusAlasan yang bagus sih kak.. Benar. Tapi masalah bahasa dan seni, tak hanya seperti yang kakak fikirkan, yang bisa dipelajari otodidak. Sebelum menentukan pilihan, pernahkah kakak menyelidiki apa itu bahasa dan seni? Bahasa yang bagaimana? Seni yang bagaimana? Kalau menurut saya sih, kalau mau otodidak, setiap ilmu kalau kita punya keinginan, semua bisa dipelajari secara otodidak.cuma mau bilang, bahwa bahasa dan sastera buka seperti yg dibayangkan orang orang pada umumnya, jika alasan kakak adalah bisa menyelingi membaca dan menulis puisi di tengah tengah fisika, sebagai anak bahasa dan seni saya maklumi karena fokus kakak mungkin hanya berkutat di bidang kepenulisan atau eksplore bakat. Sejauh yang saya lihat, kemampuan kakak ada di bidang membaca puisi. Kalau untuk kepenulisan (maaf) masih kurang. Apalagi masalah kritik sastra (sekali lagi maaf) siapa bilang karya sastra atau seni tidak bisa diukur bagus atau tidaknya? Semua bisa diukur, hanya saja tidak seperti mengukur kecepatan, laju cahaya dan sebagainya seperti fisika (maaf kalau salah). Guru fisika saya (cie dulu anak ipa) pernah bilang "seorang ahli mengatakan bahwa fisika itu tidak sulit anak-anak, yang sulit itu matematikanya" kenapa kakak tidak pilih jurusan matematika saja? Dengan matematika, kakak bisa menguasai matematika, fisika dan seni sekaligus. :D *cuma nanya gaperlu jawab*
BalasHapusSaya tau kok sains itu begimana :D . however, keep on rocking kak.
Wah, menginspirasi sekali
BalasHapus