UKT
, tiga huruf ini memang sangat populer pada saat ini, terutama di kalangan civitas
akademika kampus. Kepopularan UKT hampir
menyaingi kepopuleran drama korea dan lagu-lagu K-Pop terbaru yang juga tidak
asing lagi menjadi pembicaraan hangat mahasiswa. Bagaimana tidak, akibat UKT
yang merupakan singkatan dari Uang Kuliah Tunggal ini banyak masalah-masalah
baru yang menjerat mahasiswa, khususnya mahasiswa angkatan
2013 . Ya, apalagi namanya kalau bukan masalah ekonomi.
Baik, mari sedikit saya jelaskan
dari mana asal muasal tiga huruf yang kontroversinya tidak ada habis-habisnya
hingga saat ini. Berbicara masalah “ UKT “ sudah jelas akan membicarakan
masalah “ uang “ . Berbicara masalah uang tentu tidak akan lepas dari yang
namanya permasalahan ekonomi . Tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan pemenuhan
kebutuhan manusia dari segi ekonomi sangatlah banyak. Salah satunya adalah UKT
yang menjadi kategori baru dalam daftar permasalahan mahasiswa 2013.
Mengacu
pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi , timbul harapan adanya
keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Harapan semakin menguat ketika Mendikbud dan Dirjen Dikti menginstruksikan UKT
(Uang Kuliah Tunggal) akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2013/2014. Keseriusan
pemerintah untuk mewujudkan harapan rakyat ini terbukti dengan dikeluarkannya
Surat Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Tingggi Nomor 97/E/KU/2013
tertanggal 5 Februari 2013 tentang penetapan dan pelaksanaan UKT untuk
mahasiswa baru s1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
UKT
( Uang Kuliah Tunggal ) adalah sistem pembayaran akademik mahasiswa program
S1 dimana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi dibagi rata per
semester. UKT dinilai sebagai terobosan baru dalam pembayaran
akademik. Ciri khas UKT adalah dihapuskannya Sumbangan Peningkatan Mutu
Akademik (SPMA) yang biasa juga disebut sebagai uang pangkal masuk. Melalui sistem UKT ini mahasiswa baru tidak
perlu lagi membayar berbagai macam biaya, tetapi hanya membayar uang kuliah
tunggal yang jumlahnya akan tetap dan berlaku sama pada tiap semester selama masa kuliah.
Wah
, betapa bagusnya sistem yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti dan betapa mulianya
tujuan dari UKT ini jika dilihat dari pemaparan singkat saya barusan. Ya, tentulah
mulia, sebab jika kita meninjau UU No. 12 Tahun 2012 tadi , maka dapat kita
ketahui bahwa tujuan dari UKT adalah untuk meringankan beban mahasiswa yang
kurang mampu, karena akan ada subsidi bagi mereka.
Namun,
sayang seribu kali sayang . Lagi-lagi kebiasaan di bumi pertiwi kita ini tak
dapat dihilangkan, yaitu kebiasaan para pejabat negeri yang “ salah praktik dan salah sasaran “ pada
implementasi sebuah sistem/kebijakan pemerintah . Sebenarnya ,
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia jika ditinjau dari segi teorinya
sangatlah bagus, namun selalu saja pada pengaplikasiannya tidak sebagus
teorinya. Hal ini jugalah yang terjadi di beberapa kampus di Indonesia .
Khas
lain dari UKT adalah adanya sistem pengelompokan pembayaran. Untuk masalah
pengelompokan pembayaran diserahkan kepada kebijakan masing-masing universitas
di Indonesia . Di Universitas Riau
sendiri UKT dikelompok kan menjadi lima golongan . Golongan I dan II untuk
mahasiswa miskin dan kurang mampu , golongan III untuk mahasiswa penerima Bidik
Misi dan golongan IV dan V untuk mahasiswa mampu dan kaya . Kembali saya
katakan, jika sekilas kita melihat sistem pengelompokan ini, maka tidak ada
yang salah. Namun faktanya adalah pengaplikasian pada sasarannya tidak tepat.
Sejak
dikeluarkannya pengumuman daftar nama pengelompokan UKT pada semester lalu
tepatnya satu bulan sebelum Ujian Akhir Semester (UAS) ganjil, tak sedikit air
mata yang tumpah dari mahasiswa angkatan 2013. Bukan karena terharu atas
kebaikan pihak universitas yang mengabulkan permintaan mahasiswa untuk ditetapkan
pada golongan UKT yang diinginkan sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua ,
melainkan kekecewaan bercampur kesedihan saat melihat nama tertera menjadi
penerima UKT golongan V !
Di
fakultas yang saya cintai dan amat saya banggakan ini hampir 80% dari mahasiswa
tercantum pada golongan V. Ini artinya pihak kampus menganggap bahwa 80% dari
mahasiwa FKIP adalah orang-orang kaya. Syukur kalau memang si mahasiswa benar
adalah orang kaya, nah bagi yang miskin tetapi dianggap kaya bagaimana ? Inilah
permasalahan yang tak kunjung selesai di kampus ini .
UKT
yang katanya disesuaikan dengan tingkat ekonomi orang tua hanyalah tinggal
teori saja. Faktanya, kebanyakan mahasiswa yang tercantum pada golongan V
adalah mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi . Bahkan , sebaliknya ada
mahasiswa yang mampu justru tercantum pada golongan I dan II.
Pengakuan
sendiri dari teman saya yang kuliah di FISIP yang merupakan anak pejabat yang
terkenal cukup kaya di daerah saya bahwa dirinya tercantum pada golongan I ,
padahal ia tidak mengajukan golongan I pada saat pengisian surat permohanan
UKT. Nah, inilah yang saya sebut sebagai
“salah praktik dan salah sasaran” . Entah bagaimana cara yang dilakukan oleh
pihak kampus untuk memutuskan daftar nama golongan UKT sehingga hal seperti
ini bisa terjadi.
Oleh
karena salah praktik dan salah sasaran inilah ada beberapa mahasiswa yang
memutuskan berhenti kuliah akibat tak sanggup membayar UKT yang telah
ditetapkan. Tentu saja mereka adalah yang tercantum pada golongan V yang harus
membayar nominal tidak kecil. Untuk FKIP saja golongan V adalah berkisar
sebesar Rp 3.000.000- Rp 3.300.000 . Mau dicari kemana uang sebanyak ini bagi
orang tuanya yang hanya seorang petani atau hanya seorang pegawai swasta biasa
?
Miris
melihat pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah harus
dibayar mahal. Ternyata slogan “
pendidikan hanya untuk orang kaya “ masih berlaku di dunia kampus .
Seharusnya
pihak universitas memaksimalkan kinerjanya dalam menentukan daftar nama
mahasiswa pada golongan UKT yang benar-benar sesuai dengan kemampuan ekonomi
mereka, yaitu salah satunya dengan memaksimalkan survey data pengajuan ukt dari
mahasiswa , sehingga praktik salah sasaran tidak terjadi .
Sangat disayangkan ketika harapan, mimpi dan
cita-cita anak bangsa yang digantungkan pada sebuah universitas harus pupus
dan patah begitu saja hanya karena UKT yang tidak benar pelaksanaannya. Mungkin
pihak kampus perlu merenungkan kembali dan menanyakan pada diri sendiri “ ada
apa sebenarnya dengan UKT ? “ . Ya, ini adalah PR yang harus dijawab oleh pihak
yang merasa punya tanggung jawab terhadap pendidikan anak negeri ini . Sebab cahaya seharusnya juga menyapa kolong jembatan yang muram,
lampu merah yang marah, juga rimba yang menari lemah bersahaja.
“ pendidikan hanya untuk orang kaya “ kan banyak orang miskin juga dengan BIDIKMISI
BalasHapusTidak semua mendapatkan bidikmisi :) UKT kalau tepat sasaran sih gapapa. But, in fact UKT nya hingga kini banyak yang tidak tepat sasaran. This is the problem..
BalasHapusya betul kak tengku, saya setuju di kampus saya juga terjadi hal yang serupa. sehingga sempat membuat demo besar-besaran juga tahun 2017di rektorat UNIV. PALANGKA RAY.
BalasHapusSemoga UKT Kedepannya dapat tepat sasaran kak